Friday, January 22, 2021

Review: When Calls The Heart Season 1 (2014)


RottenTomatoes: 54% | IMDb: 8.2/10

Rated: TV-G | Genre: Drama, Romance, Period

Available on: Netflix

SINOPSIS

Bersetting di tahun 1900 awal, series ini menceritakan kisah Elizabeth Thatcher (Erin Krakow) yang pindah ke sebuah kota kecil di barat Kanada bernama Coal Valley. Ia rela meninggalkan kehidupannya di kota besar untuk mengajar anak-anak disana. Tapi sayangnya kehidupan di Coal Valley tidaklah semudah yang dibayangkan. Kehadiran Elizabeth tidak disambut baik oleh semua warga kota karena insiden yang belum lama terjadi di kota itu. Meski demikian, Elizabeth bertekad untuk tetap melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin. Tanpa diduga perjuangannya juga membawa kejutan asmara antara dirinya dengan Jack Thornton (Daniel Lissing), seorang perwira polisi berkuda yang bertugas disana. Lantas bagaimana kehidupan Elizabeth di Coal Valley? Mampukah ia beradaptasi dan bertahan dengan segala persoalan yang ada? 


REVIEW


Sudah hampir 7 tahun sejak When Calls The Heart ditayangkan untuk pertama kalinya. Jujur saya agak menyesal baru menonton series ini. Ada banyak hal menarik yang saya temukan hanya dalam season 1-nya. Tapi sebelum bahas lebih jauh penting untuk tahu bahwa cerita tentang Elizabeth Thatcher ini merupakan adaptasi dari novel karya Janette Oke dengan judul yang sama. Ada 6 novel yang menjadi dasar cerita. Seriesnya pun tidak hanya berhenti di season 1. Ada 6 season yang bisa dinikmati. 

Yap 6 season, kedengarannya bukan jumlah yang sedikit memang. Bahkan salah satu alasan yang membuat saya maju mundur untuk nonton series ini adalah karena tahu jumlah season-nya banyak. Rasanya "pr" sekali kalau harus menuntaskan semuanya apalagi sudah tertinggal jauh. Tapi bagaimanapun saya senang dengan keputusan yang diambil untuk tetap menonton When Calls The Heart. Ternyata tidak seburuk yang dibayangkan. Cerita dalam series ini ringan dan jumlah episode dalam season 1 nya pun tidak banyak. Kurang dari 13 episode dengan masing-masing durasi-nya dibawah 1 jam. 

When Calls The Heart menyuguhkan cerita kehidupan ringan di tahun 1900 yang mudah dinikmati. Ada banyak pesan moral juga yang bisa dipetik bahkan untuk orang awam sekaligus. Setiap episode-nya memiliki tema tersendiri dengan konflik yang beragam. Ada banyak tokoh yang terlibat, namun tidak membuat series ini membingungkan. 

Sensasi yang saya dapat ketika menonton ini agak mirip dengan ketika menonton Anne With An E. Selain karena tokoh utamanya seorang wanita, konflik yang ada juga banyak menyentil isu-isu sosial seperti feminisme, mental health dan pendidikan. Misalnya di episode 2 "Cease and Desist" dimana Perusahaan Minyak meminta para janda untuk keluar dari rumah sewaan mereka tapi para janda menolak dan memilih untuk berjuang sendiri dengan cara terjun langsung ke tambang. Bekerja langsung menyingkirkan reruntuhan dari terowongan agar perusahaan tidak perlu mendatangkan tenaga tambahan baru dan mengganti tempat tinggal mereka. Disini Elizabeth terjun langsung membantu Abigail dan janda lainnya meski dirinya bukan pihak yang terlibat. Ia tidak tinggal diam saat sebelumnya usaha penyelamatan mencapai jalan buntu. Berkat dirinya, seluruh wanita di kota pun ikut tergerak dan membantu. Bersama-sama mereka menyelesaikan tugas yang dipandang mustahil oleh kebanyakan orang terutama kaum pria. Mendobrak stereotype dan belenggu peran kultural yang selama ini melekat. Bahwa wanita dianggap sebagai sumber daya yang lemah dan hanya mampu bekerja di ranah domestik. Terlepas dari alasan yang mendasari para wanita bekerja di tambang, baik Elizabeth, Abigail ataupun wanita lainnya menunjukkan bahwa wanita mampu menjadi mandiri, memilih untuk bersikap dan melawan. 

Kemudian, contoh lain yang berkaitan dengan mental health dapat dilihat di episode 3 "A Telling Silence". Tentang Rosaleen yang enggan berbicara selepas kepergian ayahnya. Ia menolak berkomunikasi bahkan kepada ibunya sendiri. Kondisi Rosaleen tidak hanya berdampak kepada ibunya tetapi juga kepada Elizabeth selaku gurunya. Ia begitu tertutup dan jauh. Puncaknya, Rosaleen hilang secara misterius. Membuat semua orang di kota panik. Beruntung Elizabeth menemukan titik terang dan menemukan gadis kecil itu bersembunyi di dalam tambang. Ternyata perasaan bersalah begitu mengusik Rosaleen. Ia menghukum dirinya sendiri karena merasa ia adalah penyebab sang ayah pergi. Disini kita tahu bahwa kesehatan mental seorang anak pun sama pentingnya dengan orang dewasa. Mental seorang anak masih belum stabil, oleh karena itu penting untuk diperhatikan agar tidak berdampak pada perkembangan anak. Rosaleen kesulitan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi bukan tanpa sebab. Emosional-nya terguncang dan ia tak bisa menceritakan hal tersebut kepada siapapun. Tidak, sampai akhirnya Elizabeth berhasil membuka rahasia gadis kecil itu. Adegan saat Elizabeth memeluk Rosaleen yang menangis di dalam tambang sangat menyentuh. Begitu pun adegan dimana Rosaleen berjumpa dengan ibunya dan berbicara lagi setelah sekian lama. 

"The Light Of Love Restores Every Lost Voice" 

Karakter Elizabeth dalam series memang memiliki porsi besar karena ia adalah pemeran utama, tapi bukan berarti karakter ini tidak memiliki kekurangan. Saya suka bagaimana Elizabeth dibuat mendekati sosok manusia pada umumnya, bukan sebagai karakter utama yang sempurna. Karena memang pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna. Dibalik kecerdasannya, ia sebetulnya wanita yang agak ceroboh. Di episode awal ia bahkan membakar sebuah rumah tanpa sengaja. Erin Krakow memberikan performa yang luar biasa. Ini pertama kali saya menonton karyanya tapi saya puas dengan bagaimana ia membawakan karakter Elizabeth. Ia berhasil menghidupkan Elizabeth dan menampilkan karakter yang sepenuhnya berbeda dari yang saya bayangkan di awal. Menit-menit pertama melihat Krakow dalam kereta kuda dengan gaun yang mewah memberi kesan seorang wanita kota yang nantinya akan kesulitan menghadapi kehidupan di pelosok. Tapi ternyata saya salah. Krakow berakting dengan sangat baik untuk menepis kesan ini. Menampilkan sosok Elizabeth yang mandiri, optimis namun tidak lupa dengan kekurangan karakternya yang menjadi daya tarik tersendiri. 

Tidak jauh berbeda dengan Erin Krakow, Daniel Lissing yang berperan sebagai Jack Thornton juga tampil dengan baik. Tidak hanya mengandalkan wajahnya yang oke, tapi dia punya lebih dari itu. Di awal ada beberapa adegan yang saya rasa tampak kaku namun semakin kebelakang sepertinya dia mulai terbiasa sehingga tidak lagi terlalu mengganggu. Chemistry Krakow dan Lissing juga tampak bagus. Tidak banyak adegan cringey yang perlu dikhawatirkan karena hubungan mereka tidak langsung berkembang menjadi romantis dalam satu malam. Ada perdebatan yang terjadi sebelum berujung pada pedekatan. Saya tahu betul bahwa keduanya bagaimanapun akan berakhir bersama, tapi ini tidak menghentikan rasa penasaran saya untuk melihat bagaimana proses yang terjadi. Tarik ulur antara Elizabeth dan Jack jauh lebih menarik untuk dinikmati dibandingkan terburu-buru lompat ke momen saat keduanya telah bersama. 


When Calls The Heart adalah tontonan ringan yang bisa dinikmati di waktu luang. Tapi jangan terlalu berharap mendapat kejutan. Series ini tidak menawarkan hal tersebut. Ceritanya dibuat cenderung stabil tentang kehidupan sehari-hari. Ada sedikit kejutan di beberapa bagian tapi kebanyakan bersifat predictableDari segi visualnya pun series ini tidak terlalu menonjol. Dibandingkan Anne With An E, Bridgerton atau series period lainnya, When Calls The Heart season 1 ini bukan series yang akan memanjakan mata dengan pemandangan alam indah khas jaman dulu. Tidak pula dengan pakaian dan bangunan eksotis. Alih-alih semua itu, series ini akan banyak dihiasi dengan kota kecil yang tandus, tambang batu bara, oh.. dan tentunya para penambang yang mau tidak mau selalu terlihat kotor. Para wanita di kota masih mengenakan pakaian khas jaman dahulu hanya saja lebih sederhana.

Dan seperti yang sudah saya disinggung di awal bahwa series ini tidak berhenti di season 1, maka jangan berekspektasi bahwa seluruh konflik akan terselesaikan di episode akhir. Konflik antara Abigail dan Mr. Gowen tampaknya masih terus berlanjut di season 2. Begitu pula kisah cinta antara Elizabeth dan Jack. Ditutup dengan ciuman, saya yakin perkembangan asmara kedua-nya akan semakin menarik untuk diikuti di season 2. 


KESIMPULAN


When Calls The Heart memang terkesan sederhana, tapi sebetulnya ini tidak sesederhana premis ceritanya. Mungkin di pertengahan sebagian akan merasa arah kisahnya seakan tak fokus. Tapi mungkin memang seperti inilah series ini dituturkan, menyajikan hubungan sosial antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Ada banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa dipetik. Saya sendiri sangat menikmati momen-momen yang ada dalam series ini, menyaksikan bagaimana kisah Elizabeth dan para penduduk Coal Valley menjalani kehidupannya. Series ini sangat cocok dinikmati jika ingin kabur dari tontonan berat yang menguras pikiran. 

Personal Rating: 4/5



No comments: